Delicious Facebook Twitter RSS Feed

Proses Pembentukan & Klasifikasi Batubara



Proses pembentukan Batubara dan Jumlah Tumbuhan yang dibutuhkan untuk menjadi Batubara

Zat asal batubara, telah diketahui berupa materi tetumbuhan yang dahulunya pernah hidup subur di permukaan bumi. Tanpa memandang jenis batubaranya, semuanya merupakan mineral organik dan semuanya berasal dari sisa-sisa tetumbuhan berbagai jenis yang dahulunya hidup subur di permukaan bumi. Tetumbuhan purba ini, masa hidup dan jenisnya juga berbeda sesuai dengan umur geologi dan daerah keterdapatannya. Selain itu, kondisi lingkungan tempat sisa tetumbuhan tadi tersedimentasi, ditambah adanya pengaruh tekanan dan panas bumi yang terjadi setelah itu, serta pergerakan struktur kerak bumi, semuanya berpengaruh terhadap proses pembentukan berbagai jenis batubara. Dengan demikian, maka adalah suatu hal yang wajar apabila kualitas dan karakteristik batubara mungkin berbeda antara satu “lapangan batubara” (coal field) dengan ladang lainnya. Pada lapisan yang sama sekalipun, kualitas dan karakteristiknya dapat berbeda tergantung lokasi sebaran horisontal dari lapisan tersebut, letak batubara itu sendiri, apakah ada dibagian atas atau bawah lapisan, dan juga kedalaman tempat lapisan itu berada. Secara ekstrim, barangkali dapat dikatakan bahwa satu bongkahan kecil batubara tidak akan ada yang sama persis kualitasnya dengan satu bongkahan kecil lainnya. Dengan alasan itulah maka satu bongkahan batubara tidak bisa mewakili keseluruhan batubara yang ada di suatu tambang dari segi kualitas dan karakateristiknya. Adanya hal semacam ini membuat upaya pembakuan (standarisasi) batubara sebagai satu komoditas dagang menjadi suatu hal yang tidak mudah.
Proses perubahan yang terjadi terhadap sisa-sisa tetumbuhan, secara umum dapat dibagi menjadi proses pembusukan dan proses pembatubaraan. Pada proses pembususkan, sisa-sisa tetumbuhan tadi berada pada lingkungan dimana terdapat air dan oksigen dari udara bebas yang cukup, sehingga bakteri pembusuk akan bekerja untuk menguraikan sisa-sisa tetumbuhan tadi. Setelah melewati suatu waktu tertentu, sisa-sisa tetumbuhan ini berubah menjadi gas (CO2, metan, dan lain-lain) dan air. Selain kandungan abu dalam jumlah yang kecil, tidak dijumpai lagi sisa-sisa berupa padatan.
Di sisi lain, pada proses pembatubaraan (coalification), sisa-sisa tetumbuhan berada pada lingkungan .yang hampir tidak tersentuh oleh udara, ditunjang oleh pengaruh bakteri pembusuk yang sangat kecil sehingga setelah melewati masa geologi yang panjang, barulah sisa-sisa tetumbuhan tadi perlahan terurai dan berubah menjadi zat yang kaya akan kandungan karbon.
Sebagai contoh, misalkan saja di suatu daerah rawa atau di tepi pantai terdapat tetumbuhan yang tumbuh subur. Saat tetumbuhan tersebut layu, mengering dan mati, maka sebagian atau keseluruhan pohon akan jatuh ke dalam air dan terendam. Setelah itu, proses ini terjadi berulang-ulang dengan adanya tumbuhan lain yang hidup, tumbuh, lalu mati. Proses yang berulang serta adanya jumlah tetumbuhan yang sangat banyak, akan menyebabkan timbunan sisa tetumbuhan menjadi semakin tebal. Penambahan timbunan sisa tetumbuhan, tidak hanya dari tumbuhan yang kering yang mati saja. Bisa saja terjadi, misalnya timbul tanah longsor yang menyebabkan tetumbuhan di sekitarnya banyak yang tumbang, atau adanya banjir besar yang membawa sisa-sisa tumbuhan dari tempat lain, sehingga kemudian terkumpul di daerah tersebut.
Selain itu, naik-turunnya lapisan tanah atau pergeseran maju-mundurnya garis pantai akan menyebabkan perubahan pada tingkat ketinggian air, dan ini kemudian diikuti dengan terbawanya batuan atau pasir laut bersama aliran air sehingga akhirnya menutupi lapisan endapan sisa-sisa tetumbuhan tersebut.
Dengan kondisi seperti itu, dimana sisa-sisa tetumbuhan berada pada lingkungan yang tidak bersentuhan dengan udara bebas, maka yang mengalami perubahan adalah unsur-unsur yang ada pada tetumbuhan asal, seperti oksigen, hidrogen, karbon, dan lain-lain.
Pertama-tama, oksigen dan hidrogen berikatan menjadi air, oksigen dan karbon berikatan membentuk gas karbon dioksida dan lain–lain. Akibatnya, lama-kelamaan kandungan oksigen berkurang yang diikuti dengan ikatan antara hidrogen dan karbon membentuk gas metan dan gas hidrokarbon lainnya.
Selama proses pembatubaraan, dan bersamaan dengan berjalannya waktu, terjadi proses yang berulang-ulang, baik itu berupa naik-turunnya lapisan tanah, bertambah banyak atau sedikitnya jumlah tetumbuhan, pengendapan serpihan batuan dan lain-lain, sehingga lapisan sisa tetumbuhan tadi dilapisi lagi dengan berbagai lapisan batuan. Bila lapisan sisa tetumbuhan purba berada di bagian bawah dan mendapat beban dari lapisan-lapisan batuan yang ada di atasnya, maka efek tekanan dan panas bumi yang diterima oleh lapisan tetumbuhan purba akan semakin besar. Hal ini di sisi lain juga mendorong proses pembatubaraan, sehingga meningkatkan kandungan karbon dan nilai kerapatan (densitas) dari lapisan tersebut. Cepat-lambatnya proses pembatubaraan tidaklah selalu tergantung kepada seberapa lama tetumbuhan tersebut telah terkubur, namum lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor geologis seperti pergerakan kerak bumi, pengaruh gunung berapi, dan lain-lain.
Jumlah tetumbuhan yang diperlukan untuk menjadi batubara, dikatakan sekitar 17–20 kali jumlah tetumbuhan yang telah berubah menjadi gambut (peat). Tambahan lagi, untuk mendapatkan satu meter lapisan batubara, dibutuhkan waktu selama beribu-ribu tahun agar memperoleh jumlah tetumbuhan yang diperlukan. Jadi, untuk menghasilkan lapisan batubara setebal 10 meter, sekurang-kurangnya diperlukan tumpukan endapan tetumbuhan setebal 200 meter, atau bahkan lebih.

Skala pergerakan kerak bumi ternyata juga tidak kecil, yaitu dengan ditemukannnya lapisan batubara di kedalaman 3000 meter di bawah dasar laut sewaktu melakukan pengeboran untuk survey minyak bumi di laut Cina Timur.
Karakteristik Batubara Menurut Klasifikasinya
 Di sini, batubara dibagi menjadi lignit, sub-bituminus, bituminus, dan antrasit.
  • Brown Coal / Lignite
Dalam klasifikasi batubara, secara umum kelompok ini merupakan batubara dengan tingkat pembatubaraan yang paling rendah dan berwarna coklat atau coklat kehitaman. Kandungan air dan zat terbangnya tergolong tinggi, dan umumnya bersifat non-coking atau non-caking. Pada klasifikasi internasional, batubara ini didefinisikan memiliki nilai kalori (ash free basis) kurang dari 5700 kcal/kg.
Penggunaan batubara ini, umumnya sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik. Namun karena kandungan airnya tinggi, maka adakalanya diperlukan proses dewatering terlebih dahulu. Di sisi lain, batubara ini dalam keadaan kering mudah sekali menimbulkan gejala terjadinya swabakar (spontaneous combustion), sehingga handling-nya pun tergolong merepotkan. Saat ini, pengunaan batubara jenis ini di Jepang sangat kecil. Terlepas dari masalah itu, penelitian dan pengembangan teknologi bagi perbaikan kualitas batubara untuk menunjang pemakaian yang lebih stabil terus dilakukan.
Di Jepang, batubara dengan tingkat pembatubaraan yang lebih rendah lagi disebut dengan “atan”. Di dalam aturan industri pertambangan Jepang, “atan” dibedakan dari batubara, dan dianggap sebagai mineral yang berbeda dengan batubara. Namun secara ilmiah, “atan” masuk ke dalam golongan lignit atau brown coal.
Catatan: Peat dan Grass Peat (=Gambut)
Secara umum tidak termasuk golongan batubara. Komponen tetumbuhan asalnya dapat jelas ditentukan dengan mata telanjang, yang menunjukkan tingkat pembatubaraan sangat rendah. Selain itu, kandungan airnya banyak dan nilai kalorinya kecil, sehingga bukan merupakan bahan bakar yang baik. Karena banyak mengandung zat organik, gambut digunakan pula sebagai pupuk. Gambut yang berasal dari rerumputan disebut dengan grass peat (gambut rumput). Namun karena kebanyakan komponen peat adalah grass peat, maka istilah peat dan grass peat sering dipakai untuk menunjukkan arti yang sama.
  •  Sub-bituminus
Dalam klasifikasi batubara, secara umum kelompok ini merupakan batubara dengan tingkat pembatubaraan yang paling rendah dan berwarna coklat atau coklat kehitaman. Kandungan air dan zat terbangnya tergolong tinggi, dan umumnya bersifat non-coking atau non-caking. Pada klasifikasi internasional, batubara ini didefinisikan memiliki nilai kalori (ash free basis) kurang dari 5700 kcal/kg.
Penggunaan batubara ini, umumnya sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik. Namun karena kandungan airnya tinggi, maka adakalanya diperlukan proses dewatering terlebih dahulu. Di sisi lain, batubara ini dalam keadaan kering mudah sekali menimbulkan gejala terjadinya swabakar (spontaneous combustion), sehingga handling-nya pun tergolong merepotkan. Saat ini, pengunaan batubara jenis ini di Jepang sangat kecil. Terlepas dari masalah itu, penelitian dan pengembangan teknologi bagi perbaikan kualitas batubara untuk menunjang pemakaian yang lebih stabil terus dilakukan.
Di Jepang, batubara dengan tingkat pembatubaraan yang lebih rendah lagi disebut dengan “atan”. Di dalam aturan industri pertambangan Jepang, “atan” dibedakan dari batubara, dan dianggap sebagai mineral yang berbeda dengan batubara. Namun secara ilmiah, “atan” masuk ke dalam golongan lignit atau brown coal.
Catatan: Peat dan Grass Peat (=Gambut)
Secara umum tidak termasuk golongan batubara. Komponen tetumbuhan asalnya dapat jelas ditentukan dengan mata telanjang, yang menunjukkan tingkat pembatubaraan sangat rendah. Selain itu, kandungan airnya banyak dan nilai kalorinya kecil, sehingga bukan merupakan bahan bakar yang baik. Karena banyak mengandung zat organik, gambut digunakan pula sebagai pupuk. Gambut yang berasal dari rerumputan disebut dengan grass peat (gambut rumput). Namun karena kebanyakan komponen peat adalah grass peat, maka istilah peat dan grass peat sering dipakai untuk menunjukkan arti yang sama.
  •  Bituminus
Batubara jenis ini mengalami tingkat pembatubaraan yang lebih tinggi dari batubara sub-bituminus, namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan antrasit. Kandungan zat terbang (volatile matter)-nya antara 20-40%, yang merupakan suatu rentang yang cukup besar. Karena itu, sering dibagi lagi menjadi high-volatile bituminous coal, medium-volatile bituminous coal, dan sebagainya. Selain dipakai sebagai bahan baku pembuatan kokas, batubara bituminus dengan caking/coking property yang rendah dipakai pula sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Batubara jenis inilah yang paling banyak digunakan di Jepang.
  •  Antrasit
Batubara ini memiliki tingkat pembatubaraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan batubara bituminus. Kandungan zat terbangnya juga yang paling kecil, dan reaktifitas saat pembakaran tergolong relatif rendah. Batubara jenis ini hampir tak memiliki sifat caking/coking. Penggunaan batubara jenis ini, dapat sebagai bahan baku pembuatan material karbon, briket dan lain-lain,.untuk pulverized coal injection (PCI) pada blast furnace, atau sebagai bahan bakar untuk fluidized bed boiler, kiln semen, dan lain-lain. 

Daftar Pustaka
Bahan Pelajaran Pelatihan Umum Teknik Pertambangan Batubara Jurusan Tenaga Terampil Proyek Alih Teknologi Pertambangan Batubara
 

Open Book